Cerita Sex Dewasa Kenalakan Remaja Jilbab Perawan | Kumpulan Bokep Terbaru 2013
Cerita Sex Dewasa Kenalakan Remaja Jilbab Perawan | Kumpulan Bokep Terbaru 2013
Cerita Sex ini merupakan sebuah cerita dewasa yang kesannya sangat
natural banget dan gagasannya sanget menarik dan nakal kalau dibaca dari
awal pasti akan seru banget! cerita sex dewasa ini dikirimkan oleh
seorang member situs ini yang minta nama dan identitasnya dirahasiakan
ok kita langsung aja ke ceritanya : Meskipun awalnya ragu, akhirnya
Pertiwi mau juga masuk ke rumah Muhris. Dadanya berdegup kencang karena
ini adalah kali pertama ia main ke rumah teman prianya. Kamu tentu tahu
Madrasah ‘Aliyah tempat mereka berdua bersekolah melarang hubungan lawan
jenis seperti ini. Seperti halnya perintah tegas Sekolah kepada setiap
siswi untuk mengenakan jilbab.
Tapi Pertiwi tak bisa menolak ajakan teman yang ia sukai itu. Dua tahun sudah mereka saling mengenal, sejak keduanya sama-sama duduk di bangku kelas satu. Dan perasaan suka itu muncul di hati Pertiwi tak lama setelah pertemuan pertamanya. Kalau tidak karena Muhris memberi sinyal yang sama, Pertiwi tentu sudah melupakan perasaannya. Tapi cowok itu terus saja bersikap spesial kepadanya, hingga cinta jarak jauh mereka terjalin erat meski tanpa kontak fisik.
Tapi Pertiwi tak bisa menolak ajakan teman yang ia sukai itu. Dua tahun sudah mereka saling mengenal, sejak keduanya sama-sama duduk di bangku kelas satu. Dan perasaan suka itu muncul di hati Pertiwi tak lama setelah pertemuan pertamanya. Kalau tidak karena Muhris memberi sinyal yang sama, Pertiwi tentu sudah melupakan perasaannya. Tapi cowok itu terus saja bersikap spesial kepadanya, hingga cinta jarak jauh mereka terjalin erat meski tanpa kontak fisik.
Lalu tiga bulan yang lalu saat menjelang Ujian Akhir Sekolah. Kelas pria
dan wanita yang biasanya terpisah mulai digabung di beberapa kesempatan
karena alasan peningkatan intensitas pelajaran. Siswa putra duduk di
barisan depan, sedang yang putri di bagian belakang. Tapi Muhris duduk
di barisan putra paling belakang sedang Pertiwi di barisan putri paling
depan. Maka tak ayal Muhris berada tepat di depan Pertiwi. Dan itulah
awal kontak terdekat yang terjadi pada mereka. Biasalah… Awalnya
pura-pura pinjam alat tulis, tanya buku, ini… itu… Tapi senyuman makin
sering tertukar dan kontak batin terjalin dengan pasti. Kadang ada
alasan bagi keduanya untuk tidak keluar buru-buru saat istirahat, hingga
ada masa singkat ketika mereka hanya berdua di dalam kelas; tanya-tanya
pelajaran—alasan basi yang paling disukai setiap orang.
Dua bulan lebih dari cukup untuk memupuk rasa cinta. Meski pacaran
adalah terlarang, dan keduanya belum pernah saling mengutarakan cinta,
tapi semua teman mereka tahu keduanya adalah sepasang kekasih. Hubungan
cinta yang unik di jaman yang serba bebas ini. Dan Pertiwi begitu
menikmati perasaannya. Setiap waktu teramat berharga. Sekilas tatapan
serta seulas senyuman selalu menjadi bagian yang menyenangkan. Lalu
cinta mulai berkembang saat kenakalan muncul perlahan-lahan. Pertiwi
sempat ragu saat Muhris memintanya untuk datang ke Mall M sepulang
sekolah sore itu. Sejuta perasaan bahagia membuncah di hati Pertiwi,
bercampur dengan rasa takut dan kegugupan yang luar biasa. Ia nyaris
pulang lagi saat sore itu ia berdiri di pintu Mall untuk bertemu dengan
Muhris. Tapi cowok itu keburu melihatnya hingga ia tak dapat menghindar
lagi. Ia tahu bahwa dirinya salah tingkah selama kencan pertama mereka.
Malamnya Pertiwi tak bisa tidur. Membayangkan tentang betapa
menyenangkannya kencan mereka, saat untuk pertama kalinya Muhris
menggenggam tangannya selama berkeliling melihat-lihat banyak hal.
Seluruh tubuhnya terasa panas dingin. Muhris bahkan membelikan sebuah
hadiah berupa kalung mutiara yang sangat mahal untuk ukuran dirinya.
Untaian mutiara itu sangat indah, putih memancarkan kilau yang terang.
Cowok itu berkata, “Walaupun aku tak akan dapat melihatmu mengenakan
kalung itu, kuharap kamu mau tetap mengenakannya.” Dan tentu saja ia
senantiasa mengenakan kalung mutiara itu.
Satu bulan itu dihiasi dengan kencan sembunyi-sembunyi yang sangat
mendebarkan. Seperti bermain kucing-kucingan dengan semua orang yang
Pertiwi kenal. Kalau ada satu saja orang yang tahu Pertiwi berduaan
dengan seorang pria di Mall, maka Pertiwi tak dapat membayangkan petaka
apa yang akan menimpanya. Tapi berhenti dari melakukan itu ia yakini
lebih mengerikan daripada terus menjalaninya. Karena, di sore itu, di
satu sudut yang sepi di dalam Mall, tiba-tiba saja Muhris mencium
pipinya dengan cepat tanpa mengatakan apapun juga. Hanya sekilas, dan
Muhris membuat seolah-olah itu tak pernah terjadi. Tapi pengaruhnya
sangat besar pada diri Pertiwi. Karena seluruh perasaannya bergemuruh
dan membuncah. Bercampur aduk hingga ia hanya bisa diam saja seperti
orang bodoh. Sisa sore itu berlalu tanpa ada dialog apapun, karena
Pertiwi tahu wajah putihnya telah berubah semerah udang rebus.
Meninggalkan kesan terindah yang terbawa ke dalam mimpi bermalam-malam
sesudahnya.
Tiga hari sejak peristiwa itu Pertiwi selalu berusaha menghindar dari
Muhris. Ia merasa malu, bingung dan takut. Bagaimanapun juga satu sisi
perasaannya masih memiliki keyakinan bahwa cinta mereka mulai melewati
batas. Tapi ia belum tahu cara kerja nafsu. Karena ketika akhirnya
mereka bertemu kembali, Pertiwi tak bisa menolak saat di banyak
kesempatan Muhris mencium pipinya berkali-kali; kanan dan kiri. Bahkan,
saat Muhris semakin nakal dengan meremas tangannya, memeluk tubuhnya dan
mencium bibirnya (meski semua itu dilakukan Muhris tak lebih dari lima
detik saja), Pertiwi hanya terpana dan sangat menikmati semuanya.
Sebelum berpisah, Muhris berbisik pelan kepadanya, “Kamu mau, kan, main
ke rumah esok sore?”
Anehnya, seperti seorang yang terhipnotis, Pertiwi mengangguk…
Maka, sore itu, dengan mengenakan gamis bercorak ceria khas remaja dengan hiasan renda bunga melati, dipadukan dengan jilbab pink yang disemati bros berbentuk kupu-kupu, juga sebuah tas jinjing dari kain kanvas, Pertiwi duduk di sofa ruang tamu di rumah Muhris. Menunggu kekasihnya mengambilkan dua gelas jeruk dingin dan sepiring buah-buahan segar. Matanya menatap ke sekeliling ruangan dan mendapatkan kesan yang sangat menyenangkan.
Anehnya, seperti seorang yang terhipnotis, Pertiwi mengangguk…
Maka, sore itu, dengan mengenakan gamis bercorak ceria khas remaja dengan hiasan renda bunga melati, dipadukan dengan jilbab pink yang disemati bros berbentuk kupu-kupu, juga sebuah tas jinjing dari kain kanvas, Pertiwi duduk di sofa ruang tamu di rumah Muhris. Menunggu kekasihnya mengambilkan dua gelas jeruk dingin dan sepiring buah-buahan segar. Matanya menatap ke sekeliling ruangan dan mendapatkan kesan yang sangat menyenangkan.
Kesan itu didapat, sebagian karena bagaimanapun ini adalah rumah orang
yang ia cintai, dan sebagiannya lagi karena pemiliknya memiliki cukup
banyak uang untuk menata dengan demikian indahnya. Pertiwi tak tahu
banyak soal dekorasi, tapi sesungguhnya rumah itu memang didesain dengan
nuansa klasik yang sesuai dengan alam pegunungan tempat rumah itu
berdiri. Perabotan, dari mulai lampu-lampu, tempat duduk, meja,
lukisan-lukisan serta berbagai hal didominasi oleh corak bambu dan kayu
asli. Sementara dedaunan dan tanaman hijau—bercampur antara imitasi dan
buatan—menghiasi sudut-sudut yang tepat. Air terjun buatan dibangun di
samping ruang tamu, dengan cahaya matahari yang hangat menyinari dari
kaca jendela samping. Wilayah itu ditutup oleh kaca bening yang dialiri
air dari atas, sehingga mengesankan suasana hujan yang indah dan
menimbulkan bunyi gemericik air yang terdengar menyenangkan.
Lukisan pedesaan dipasang di satu sudut yang tepat bagi pandangan mata,
dengan gaya naturalis hingga setiap detail nampak sangat jelas. Seperti
sebuah foto namun memancarkan aura magis yang lebih kentara. Pertiwi
sempat terpana dengan semuanya, dengan kesejukan yang melingkupi seluruh
dirinya, sampai ia tak sadar kalau Muhris telah duduk di sebelahnya,
sedang menata gelas dan piring-piring.
“Maaf, ya… Seadanya. Habisnya Umi lagi ke Bandung ikut seminar, nemenin Abi…”
Pertiwi tersipu malu. Ia berasal dari keluarga yang lebih sederhana, sehingga rasa mindernya muncul saat mendapati rumah yang demikian besar dan mewah ini ternyata milik pacarnya.
“Nggak apa-apa, Ris. Pertiwi seneng, kok…” Pertiwi merasakan suaranya tercekat di tenggorokan.
Sore itu Pertiwi lalui dengan sangat menyenangkan. Ngobrol berdua, bercanda, tertawa, nonton film, main game PS hingga makan malam. Pertiwi baru tahu bahwa ternyata Muhris bisa memasak. Pintar malah. Kelezatan rasanya melebihi masakan yang pernah ia buat. Dengan malu ia mengakui itu di hadapan kekasihnya, yang membalasnya dengan ciuman pipi kanan yang lembut.
“Aku tetep cinta kamu, kok…”
“Maaf, ya… Seadanya. Habisnya Umi lagi ke Bandung ikut seminar, nemenin Abi…”
Pertiwi tersipu malu. Ia berasal dari keluarga yang lebih sederhana, sehingga rasa mindernya muncul saat mendapati rumah yang demikian besar dan mewah ini ternyata milik pacarnya.
“Nggak apa-apa, Ris. Pertiwi seneng, kok…” Pertiwi merasakan suaranya tercekat di tenggorokan.
Sore itu Pertiwi lalui dengan sangat menyenangkan. Ngobrol berdua, bercanda, tertawa, nonton film, main game PS hingga makan malam. Pertiwi baru tahu bahwa ternyata Muhris bisa memasak. Pintar malah. Kelezatan rasanya melebihi masakan yang pernah ia buat. Dengan malu ia mengakui itu di hadapan kekasihnya, yang membalasnya dengan ciuman pipi kanan yang lembut.
“Aku tetep cinta kamu, kok…”
Perlu diketahui bahwa Pertiwi saat itu berusia 16 tahun dan memiliki
tubuh yang mulai matang sebagai seorang gadis. Posturnya juga tinggi
dengan wajah manis yang terkesan keibuan. Tapi percayalah bahwa ia
sangat polos, lebih polos dari gadis SD di kota besar yang telah mahir
urusan peluk dan cium. Desa tempat ia tinggal sangat jauh dari arus
informasi dan pengaruh buruk ibukota. Maka ia tak menaruh prasangka
apapun saat Muhris mengajaknya menginap di rumahnya malam itu. Memang
ini urusan yang tabu di desanya, tapi kepolosan Pertiwi membuatnya yakin
bahwa Muhris tak akan melakukan hal buruk terhadapnya. Sehingga,
pilihan berbohong ia lakukan agar bisa berduaan terus dengan kekasihnya.
Ia telah bilang pada orang rumah bahwa ia akan menginap di rumah Ririn.
Ia tahu orang tuanya tak akan curiga, karena hal itu biasa ia lakukan
di waktu-waktu ujian sekolah. Apalagi menjelang Ujian Akhir seperti
sekarang.
Suasana malam sangat sunyi dan suara jengkerik telah berganti dengan
burung malam. Tak berapa lama rintik hujan mulai turun, dan Pertiwi tak
menyadarinya sampai hujan itu berubah jadi deras. Sangat deras, karena
di musim penghujan seperti ini hal seperti itu selalu saja terjadi.
Kalau tidak karena suasana cinta yang tengah meliputinya, Pertiwi tak
akan betah di rumah orang dalam situasi seperti itu.
O, iya… Sebetulnya Pertiwi dan Muhris tidak benar-benar berdua di rumah, karena ada Hana, adik perempuan Muhris yang sekarang duduk di bangku kelas 1 SMP. Makanya Pertiwi tidak terlalu merasa sungkan, karena ia bisa bermain dengan Hana juga di sepanjang sore dan malam itu. Muhrislah yang agak kerepotan karena harus meminta Hana agar berjanji tidak memberitahukan keberadaan Pertiwi kepada orang tua mereka. Hana sebetulnya tidak susah dibujuk. Hanya saja keberadaannya menyulitkan karena ciuman-ciuman harus dilakukan secara hati-hati.
O, iya… Sebetulnya Pertiwi dan Muhris tidak benar-benar berdua di rumah, karena ada Hana, adik perempuan Muhris yang sekarang duduk di bangku kelas 1 SMP. Makanya Pertiwi tidak terlalu merasa sungkan, karena ia bisa bermain dengan Hana juga di sepanjang sore dan malam itu. Muhrislah yang agak kerepotan karena harus meminta Hana agar berjanji tidak memberitahukan keberadaan Pertiwi kepada orang tua mereka. Hana sebetulnya tidak susah dibujuk. Hanya saja keberadaannya menyulitkan karena ciuman-ciuman harus dilakukan secara hati-hati.
Peluk dan cium beberapa waktu yang lalu memang mendapatkan perlawanan
(meski setengah hati) dari Pertiwi. Tapi hal itu tak berlaku malam ini,
karena kini Pertiwi merasa lebih santai dan bebas. Di satu kesempatan
Muhris memeluknya sembari mencium bibirnya sekilas. Di kesempatan lain
ia dipeluk dari belakang, tepatnya saat ia mencuci piring bekas makan
malam dan pria itu mengendap-endap dari belakang dan begitu saja
melingkarkan tangan di pinggangnya. Pertiwi sempat menjerit pelan dan
berusaha meronta, tapi tangannya yang memegang piring dipenuhi busa
sabun hingga susah untuk bergerak. Ia hanya menggelinjang pelan dan
merengek lemah, saat pelukan itu makin erat dan ciuman di pipinya
membuatnya terbius. Hampir saja Hana melihat perbuatan mereka, kalau
Muhris tidak buru-buru melepaskan pelukan di pinggang yang ramping itu.
Setelah mandi malam yang menyenangkan, di dalam bath-tub air hangat yang
penuh busa dan peralatan mandi yang lengkap milik Umi Muhris, Pertiwi
bergabung dengan kakak beradik di ruang TV. Ia mengenakan busana malam
yang lebih santai (setidaknya untuk ukuran gadis berjilbab); kemeja kaus
lengan panjang putih bermotif garis warna biru dengan bawahan rok katun
berwarna biru lembut, dipadukan jilbab simpel berwarna biru senada.
Parfum aroma bunga khas remaja ia seprotkan di tempat-tempat yang tepat
untuk menyegarkan dirinya. Lalu ia duduk di samping Hana yang sedang
tertawa menyaksikan film kartun di televisi. Mata Pertiwi saat itu
tertuju penuh ke televisi, namun pikirannya terbang ke alam tertinggi
yang penuh imajinasi. Pelukan dan ciuman hangat dari Muhris mau tak mau
membangkitkan gairah terpendam yang selama ini tersembuyi jauh di dasar
jiwanya. Ia mengalami semacam sensasi aneh yang baru dikenalnya, yang
sangat memabukkan dan membuatnya lupa diri. Jam baru pukul delapan malam
namun kegelisahannya telah memuncak.
Pertiwi tak tahu—atau mungkin tak berani mengakui—bahwa dirinya telah
dipenuhi sensasi seks yang menyenangkan. Terlebih ini adalah masa-masa
suburnya. Letupan-letupan kecil yang dipicu oleh Muhris membuatnya
perlahan-lahan tebawa ke arus deras, hingga sulit terbendung oleh
keremajaannya yang sedang membara. Penghalang dirinya untuk melakukan
hal-hal yang lebih seronok adalah rasa malu, takut serta ketidaktahuan
yang besar tentang kondisi-kondisi semacam ini. Tapi pancingan-pancingan
yang dilakukan oleh Muhris dengan lihai membawanya pada
pengalaman-pengalaman terlarang yang sangat menggairahkan. Semuanya
akibat kepolosan sang gadis remaja.
Jam delapan lewat dua puluh menit Muhris bangkit dari duduknya dan
menarik tangan Pertiwi agar mengikutinya. Hana tak sadar karena ia
terfokus pada acara televisi. Pertiwi menurut dan dadanya berdebar
kencang saat Muhris menariknya ke lantai dua. Kalau Pertiwi sedikit
lebih gaul, ia akan tahu Muhris bermaksud melakukan sesuatu, tapi
Pertiwi jauh lebih polos dari yang orang kira, hingga ia justru merasa
senang saat Muhris mengajaknya untuk melihat-lihat kamarnya. Ia senang
bisa tahu isi dalam kamar kekasih yang ia cintai. Pertiwi kagum pada
suasana kamar Muhris yang menyenangkan. Ia juga terkejut saat menemukan
foto dirinya dalam pose separuh badan terpampang di dinding kamar. Foto
itu ditutupi Muhris oleh poster pemain bola, hingga tidak ada yang tahu
bila setiap malam ia menarik poster itu dan memandangi foto gadis yang
tersenyum manis di sana.
Pertiwi setengah lupa tentang kapan ia membuat foto itu. Ia merasa foto
itu lebih cantik dari aslinya. Tapi Muhris menjelaskan bahwa program
komputer photoshop dapat melakukan banyak hal, seperti membuat gadis
secantik dirinya terlihat lebih segar dan mempesona. Pertiwi tersipu
malu. Tapi itu belum seberapa, karena tiba-tiba Muhris menarik dirinya
agar berhadapan, lalu mengeluarkan sepasang anting mutiara dari kotak
beludru di saku celananya. Pertiwi terperanjat. Muhris berbisik mesra,
“Ini pasangan kalung yang pernah kuberikan. Aku mau kamu mengenakannya…”
Mata Pertiwi berkaca-kaca. Kalau saja ia berani, ia sudah memeluk pria
di hadapannya dan menciumnya bertubi-tubi. Tapi ia terlalu malu untuk
melakukan hal semacam itu. Ia hanya salah tingkah, saat Muhris
meletakkan anting-anting itu di telapak tangannya dan berkata lagi, “Aku
pasangkan sekarang, ya…”
“Tapi…” Suara Pertiwi serak dan lirih.
“Tapi kenapa?”
“Pertiwi malu…”
“Kok malu? Bukankah kita saling mencintai?! Masihkah kita saling tertutup?”
Pertiwi bingung untuk menjawab, karena ini adalah momen pertama dalam hidupnya ketika ia harus membuka jilbabnya di hadapan seorang laki-laki. Wanita-wanita yang biasa berbikini di kolam renang atau berpakaian seksi di Mall-mall tentu tak akan paham kenyataan ini. Tapi Pertiwi adalah perempuan yang sejak belasan tahun lalu selalu menutup seluruh bagian tubuhnya dan tak memamerkannya pada siapapun kecuali keluarganya. Melepas jilbab baginya sama seperti melepas rok di depan kamera bagi gadis keumuman. Aneh? Memang! Tapi itulah kenyataannya. Ia setengah menangis saat tak kuasa menolak permintaan Muhris yang menyudutkan itu. Ia memang diam. Tapi dadanya bergemuruh hebat saat jemari Muhris melepasi jarum dan peniti yang menyemati jilbabnya. Ia tertunduk dalam dan menahan nafas saat tangan kekasihnya menarik lepas jilbabnya. Tangannya yang gemetar meremas-remas ujung kaus, dan tanpa sadar ia menggigit bibirnya sendiri saat Muhris menarik dagunya agar mereka bisa saling bertatapan serta membelai rambutnya dengan mesra; rambut yang hitam lurus sepanjang bahunya.
“Tapi…” Suara Pertiwi serak dan lirih.
“Tapi kenapa?”
“Pertiwi malu…”
“Kok malu? Bukankah kita saling mencintai?! Masihkah kita saling tertutup?”
Pertiwi bingung untuk menjawab, karena ini adalah momen pertama dalam hidupnya ketika ia harus membuka jilbabnya di hadapan seorang laki-laki. Wanita-wanita yang biasa berbikini di kolam renang atau berpakaian seksi di Mall-mall tentu tak akan paham kenyataan ini. Tapi Pertiwi adalah perempuan yang sejak belasan tahun lalu selalu menutup seluruh bagian tubuhnya dan tak memamerkannya pada siapapun kecuali keluarganya. Melepas jilbab baginya sama seperti melepas rok di depan kamera bagi gadis keumuman. Aneh? Memang! Tapi itulah kenyataannya. Ia setengah menangis saat tak kuasa menolak permintaan Muhris yang menyudutkan itu. Ia memang diam. Tapi dadanya bergemuruh hebat saat jemari Muhris melepasi jarum dan peniti yang menyemati jilbabnya. Ia tertunduk dalam dan menahan nafas saat tangan kekasihnya menarik lepas jilbabnya. Tangannya yang gemetar meremas-remas ujung kaus, dan tanpa sadar ia menggigit bibirnya sendiri saat Muhris menarik dagunya agar mereka bisa saling bertatapan serta membelai rambutnya dengan mesra; rambut yang hitam lurus sepanjang bahunya.
“Kamu cantik sekali, Pertiwi…” Suara itu terdengar lirih, dan Pertiwi
hanya terpejam menahan semua perasaannya. Itu adalah ekspresi terbodoh
yang pernah ia lakukan, atau justru yang terbaik, karena semuanya
mendorong Muhris untuk mengecup bibirnya dengan lembut. Ciuman hangat
dan penuh cinta, membawa Pertiwi terbang tinggi dan melupakan dunia ini.
“Mmmh…” Pertiwi hanya terpejam pasrah. Tubuhnya gemetar hebat. Tapi mulutnya terbuka lebar saat lidah Muhris mulai menjulur dan menggelitiki rongga mulutnya. Lidahnya ikut bergerak meski masih sangat kaku, saling menggelitiki untuk mendapatkan sensasi aneh yang sempurna. Tangannya begitu saja memeluk lengan Muhris yang kokoh, yang saat itu tengah melingkarkannya di pinggangnya sendiri.
“Mmmh…” Pertiwi hanya terpejam pasrah. Tubuhnya gemetar hebat. Tapi mulutnya terbuka lebar saat lidah Muhris mulai menjulur dan menggelitiki rongga mulutnya. Lidahnya ikut bergerak meski masih sangat kaku, saling menggelitiki untuk mendapatkan sensasi aneh yang sempurna. Tangannya begitu saja memeluk lengan Muhris yang kokoh, yang saat itu tengah melingkarkannya di pinggangnya sendiri.
Waktu seakan berhenti. Dan keduanya terpaku seperti sepasang patung
sihir. Hanya helaan nafas yang terdengar di sela-sela ciuman membara dan
dipenuhi gelora cinta. Kedua tubuh itu merapat dan saling bergesekan,
seakan tak dapat terpisahkan. Saling memberikan rasa hangat yang aneh
dan membangkitkan seluruh saraf yang tertidur. Keduanya baru berhenti
ketika nafas mulai habis dan terengah-engah kelelahan. Pertiwi kaget dan
merasa malu sekali. Mulutnya basah akibat ciuman panas itu. Tapi ia tak
dapat berbuat apa-apa selain menanti yang terjadi selanjutnya. Ia
membiarkan Muhris memasang anting-anting di kedua telinganya. Ia menahan
rasa geli saat jari jemari Muhris seakan menggelitik kedua telinganya,
dan menurut saja ketika pria itu menuntunya ke hadapan cermin besar.
“Lihat… Kamu cantik sekali..”
Pertiwi melihat sekilas ke cermin, menyaksikan dirinya sendiri tanpa jilbab, dengan dihiasi anting-anting dan kalung mutiara dari kekasihnya. Ia merengek manja dan menutup muka dengan telapak tangannya. “Aah… Muhris jahat… Pertiwi malu…” “Malu sama siapa?” Mereka bercanda dengan mesra dan lebih hangat. Ciuman tadi telah menyingkapkan tabir kekakuan yang telah terbentuk selama ini. Mereka kini lebih mirip sepasang kekasih, dengan pelukan dan ciuman hangat yang sarat nuansa cinta.
“Lihat… Kamu cantik sekali..”
Pertiwi melihat sekilas ke cermin, menyaksikan dirinya sendiri tanpa jilbab, dengan dihiasi anting-anting dan kalung mutiara dari kekasihnya. Ia merengek manja dan menutup muka dengan telapak tangannya. “Aah… Muhris jahat… Pertiwi malu…” “Malu sama siapa?” Mereka bercanda dengan mesra dan lebih hangat. Ciuman tadi telah menyingkapkan tabir kekakuan yang telah terbentuk selama ini. Mereka kini lebih mirip sepasang kekasih, dengan pelukan dan ciuman hangat yang sarat nuansa cinta.
Pagi itu adalah pagi terindah bagi Pertiwi. Menghidangkan sarapan di
meja makan untuk Muhris membuatnya merasa seperti seorang istri yang
melayani suaminya. Muhris dan adiknya sangat puas dengan masakannya.
Canda tawa menghiasi makan pagi mereka yang berlangsung dengan santai.
Seusai makan Hana langsung berangkat sekolah, meninggalkan sepasang
sejoli yang dimabuk asmara itu tanpa kecurigaan apapun. Membiarkan
keduanya menikmati hari dalam kemesraannya. Tapi, kalau kamu berpikir
malam itu keduanya melakukan hubungan-hubungan khusus suami istri,
percayalah bahwa kamu salah besar. Mereka masih terlalu penakut untuk
melakukan hubungan yang lebih jauh. Meskipun ciuman mereka semakin
panas, aktivitas lain masih terhitung sopan karena tangan Muhris tak
pernah bergerilya seperti tangan para professional. Masih tetap pelukan
sopan yang tak melibatkan rabaan ataupun sentuhan lain. Keduanya tidur
terpisah dan tak ada aktivitas nakal di malam hari.
Pertiwi pulang dari rumah Muhris sekitar pukul sepuluh pagi, setelah
banyak ciuman tambahan sehabis sarapan dan mandi pagi. Kepada orang
rumah ia bilang sekolah pulang cepat. Seharian ia lebih banyak mengunci
diri dalam kamarnya, menikmati sensasi imajinasi yang semakin liar
dibanding waktu sebelumnya. Pertemuan selanjutnya ternyata lebih lama
dari yang diduga. Keduanya benar-benar tersibukkan oleh tugas-tugas
sekolah, hingga baru bertemu lagi (untuk berduaan tentunya) dua minggu
setelahnya. Keluarga Muhris berlibur ke rumah nenek di luar kota. Alasan
ujian membuat Muhris bisa menghindar dari paksaan orang tuanya,
sehingga rumahnya bebas selama satu minggu penuh. Itulah saat yang tepat
untuk bermesraan dengan Pertiwi, dan ia telah menyiapkan banyak hal
untuk pekan yang istimewa itu.
Pertiwi datang pagi hari itu dengan mengenakan seragam sekolahnya.
Perpisahan yang cukup lama ternyata membuat gadis itu lebih agresif,
sehingga, meskipun tetap Muhris yang harus memulainya, Pertiwi
memberikan balasan yang sedikit liar dan nakal. Muhris sampai
megap-megap kewalahan. Sesudahnya mereka tertawa-tawa sambil berpelukan
di atas sofa, sembari mata mereka menatap layar TV tanpa bermaksud
menontonnya. Sekitar menjelang siang Pertiwi dibonceng Muhris untuk main
ke Mall M. Setelah itu dilanjutkan ke taman L dan bermain sepeda air di
sana. Mereka juga melakukan banyak hal yang menyenangkan, yang membuat
mereka lupa waktu. Hari telah senja ketika keduanya memutuskan untuk
pulang, saat langit berubah gelap dan tiba-tiba saja menjadi hujan yang
sangat deras sebelum keduanya tiba di rumah. Tak sampai lima menit
ketika keduanya berubah basah kuyup, dan Pertiwi telah menggigil
kedinginan saat perjalanan belum mencapai setengahnya.
Keduanya tiba di rumah saat menjelang makan malam. Oleh-oleh yang mereka
beli di jalan telah basah kuyup dan tak ada satu bagianpun yang kering
dari diri mereka. Tubuh Pertiwi menggigil hebat dan wajahnya pusat pasi.
Bibirnya agak membiru. Muhris bergegas membawa gadis itu ke dalam rumah
dan menyiapkan air panas di bath-tub kamar atas. Sementara menunggu
gadis itu mandi, ia menyiapkan dua gelas susu coklat panas dan sekaleng
biskuit kacang. Ia sendiri langsung mandi setelah itu, dan keduanya
selesai setengah jam kemudian. Pertiwi baru sadar bahwa ia tidak
memiliki pakaian ganti, dan kebingungan sampai mengurung diri di kamar
mandi. Muhris berusaha meminjamkan pakaian ibunya, tapi pakaian bersih
ibunya terkunci dalam lemari. Sementara itu pakaian Hana juga tak muat
dan terlalu kecil. Untunglah Muhris ingat bahwa di kamar tamu ada
pakaian-pakaian saudara sepupunya, yang biasa disimpan di sana untuk
dipakai jika menginap di rumah Muhris.
“Tapi… Sepupuku tidak berjilbab. Jadi pakaiannya agak… Kamu coba aja deh cari yang pas. Aku tunggu di ruang TV…” Pertiwi kebingungan sendiri di kamar tamu itu. Ia agak risih karena semua pakaian di dalam lemari itu adalah pakaian-pakaian yang gaul, serba ketat dan serba minim. Cukup lama ia memilih dan tidak menemukan juga pakaian yang cocok untuk dirinya, sehingga ia memilih pakaian yang menurutnya agak paling sopan. Tapi tetap saja serba minim. Dengan malu ia mengenakan pakaian pilihannya dan menghampiri kekasihnya di ruang TV.
“Tapi… Sepupuku tidak berjilbab. Jadi pakaiannya agak… Kamu coba aja deh cari yang pas. Aku tunggu di ruang TV…” Pertiwi kebingungan sendiri di kamar tamu itu. Ia agak risih karena semua pakaian di dalam lemari itu adalah pakaian-pakaian yang gaul, serba ketat dan serba minim. Cukup lama ia memilih dan tidak menemukan juga pakaian yang cocok untuk dirinya, sehingga ia memilih pakaian yang menurutnya agak paling sopan. Tapi tetap saja serba minim. Dengan malu ia mengenakan pakaian pilihannya dan menghampiri kekasihnya di ruang TV.
Wajah Muhris berubah kaget dan matanya bergerak kesana-kemari; mata yang
biasa Pertiwi temukan pada pria-pria nakal di pinggir jalan. Tapi
Pertiwi tahu semua ini karena dirinya, dan setengah menangis ia berusaha
menutupi keterbukaan dirinya dengan kedua tangan. Bagaimana tidak?!
Inilah pertama kalinya seumur hidup ia mengenakan pakaian minim di
hadapan seorang pria, meskipun itu adalah kekasihnya juga. Sepupu Muhris
bertubuh lebih pendek dan kecil dari dirinya, sehingga kaus pink tipis
bergambar Barbie yang ia kenakan benar-benar melekat ketat di tubuhnya,
menampakkan lekuk-lekuk yang nyata dan mempesona. Bahkan bagian pusarnya
tidak betul-betul tertutupi, meskipun berkali-kali ia berusaha menarik
kaus itu ke bawah.
Sementara itu, celana hijau lumut selututnya juga sama ketatnya, dan
tidak benar-benar selutut, karena tubuh Pertiwi yang tinggi. Pertiwi
sebetulnya memiliki kulit yang putih bersih dan lekuk yang indah,
sehingga ia nampak cantik menawan dengan pakaian seksi itu. Terlebih
rambut panjangnya masih setengah basah, menciptakan sedikit gelombang
yang menambah aura kecantikannya. Tapi Pertiwi tak terbiasa dengan
hal-hal seperti itu, hingga ia merasa dirinya buruk dan norak. Ia takut
Muhris meledeknya, serta jengah dengan keterbukaannya sendiri. “Kamu
cantik sekali, Pertiwi…” Suara Muhris terdengar bergetar, dan Pertiwi
merinding ketika pria itu malah mendekatinya dan berusaha memeluknya. Ia
berusaha menghindar dan tangannya menolak pelukan Muhris.
“Pertiwi malu… Jangan, Muhris… Jangan…” “Lho… Kenapa?”
“Pertiwi malu… Jangan, Muhris… Jangan…” “Lho… Kenapa?”
Pertiwi hanya menggeleng dan Muhris berusaha menghormatinya. Mereka
menghabiskan malam dengan menonton TV dan menghabiskan susu hangat di
meja. Namun Pertiwi agak lebih pendiam dan gelisah. Tangannya
terus-terusan memeluk bantal besar, berusaha menutupi apa yang ada di
baliknya. Ia tak tahu bahwa pria di sebelahnya lebih gelisah lagi, meski
alasannya sedikit berbeda. Ia terlalu sibuk oleh pikirannya sendiri
hingga tak sadar bahwa mata Muhris terus menelusuri dirinya, seolah
berusaha menelanjangi. Awalnya Pertiwi tak sadar pada sentuhan itu.
Berkali-kali Muhris mencium pipinya, tapi ia menganggap wajar hal
tersebut. Itu hal yang biasa mereka lakukan, dan Pertiwi menganggapnya
sebagai sun sayang yang biasa ia dapatkan. Tapi Muhris kini telah
melingkarkan tangan kiri melalui sandaran sofa dan mendarat di bahunya.
Sedang tangan kanan diletakkan di atas lutut Pertiwi yang terbuka. Cuaca
memang sangat dingin akibat hujan yang tidak juga berhenti, hingga
elusan di lututnya terasa nyaman dan menghangatkan, membuat Pertiwi
setengah tak sadar ketika elusan itu makin merambat ke atas pahanya yang
sedikit tersingkap.
Pertiwi sangat suka nonton sinetron dan tayangan di TV adalah sinetron
favoritnya. Adegan dan kata-kata romantis di layar kaca seperti memberi
hipnotis tersendiri. Adegan ciuman memang disensor, tapi hal itu justru
membuatnya tak kuasa menolak saat ciuman Muhris beralih ke bibir
basahnya. Untunglah saat itu sedang iklan, hingga ciuman dari Muhris
dapat diterima oleh Pertiwi sepenuhnya, yang baru sadar bahwa posisi
duduk kekasihnya sangat mengintimidasi dirinya. Tapi ciuman itu begitu
manis dan menyenangkan, memunculkan rasa hangat yang menggelora yang
sangat ia rindukan. Tak perlu menunggu lama untuk membangitkan hasrat
gadis itu. Pengalaman telah mengajarkan banyak hal kepadanya, sehingga
lidahnya langsung menyambut saat Muhris mulai mengajaknya bermain-main.
Bibir Pertiwi termasuk agak tipis, merah dan masih alami. Namun lidahnya
lincah dan pandai bergerak. Dengan daya dukung kecerdasan di atas
rata-rata, ia menjadi gadis yang cepat belajar dan tahu bagaimana cara
memuaskan lawan mainnya. Muhris sendiri sangat kaget dengan kecepatan
Pertiwi dalam mempelajari teknik-tekik baru, hingga di akhir
pertandingan lidah mereka, ia membiarkan sang gadis mengalahkannya
hingga pipi gadis itu merona akibat agresivitasnya sendiri. Ketika
berciuman Pertiwi lupa pada apapun. Tapi setelah selesai ia baru sadar
bahwa sejak tadi tangan kanan Muhris terus-terusan membelai-belai
pahanya, bergantian antara kanan dan kiri. Kini ia benar-benar merasakan
rangsangan itu, rangsangan yang lebih terkesan dewasa dibanding sekedar
ciuman bibir. Tangannya bertindak cepat, mencegah Muhris sesaat sebelum
tangan kekasihnya itu menyentuh bagian pangkal pahanya. Mulut mereka
terdiam dan hanya mata yang berbicara. Muhris meminta, Pertiwi menolak
halus. Tangan Muhris bergerak lagi, tapi Pertiwi mencegah lagi.
Muhris tersenyum manis. “Maaf, ya… Aku kelewatan…”
Pertiwi ikut tersenyum.
“Lebih baik kita dengar musik aja, ya! Kita berdansa. Seperti di film.”
Pertiwi diam menunggu dan manut saja pada apa yang diinginkan kekasihnya. Suara lembut mengalun dari player, dan tangan Muhris menjulur padanya. Pertiwi grogi karena ia belum pernah berdansa sebelumnya. Muhris meyakinkan bahwa ia sama tidak tahunya seperti Pertiwi. Jadi tak usah malu karena mereka hanya berdua di sini. Dengan langkah-langkah kaku tubuh mereka bergerak pelan, saling berpelukan. Keduanya tertawa pada gerakan masing-masing, tapi tetap merasa senang karena ciuman dimulai lagi beberapa saat sesudahnya. Tubuh Pertiwi hampir sama tingginya dengan Muhris, hingga ia tak perlu berjinjit untuk menyambut pagutan pria itu. Ia tak tahu bahwa kecantikannya makin memesona diri Muhris dan keremajaannya terus memancing-mancing gairah. Belum lagi aroma parfum menebar dari seluruh tubuhnya. Tangan Muhris tak tahan untuk tidak mengelus-elus tubuh bagusnya, bergerak dari pinggang ke arah atas.
Pertiwi masih setengah menganggap elusan itu adalah bagian dari gerakan berdansa. Ciuman bibir Muhris membuat tubuhnya lemas, hingga elusan itu ia nikmati saja seperti halnya ciuman di bibirnya. Terasa geli saat menyentuh bagian samping dadanya.“Mmmh… Mmhhh…” Elusan tangan Muhris makin mengarah ke dada Pertiwi, membelai-belai benda yang lunak dan empuk itu. Gadis itu mengejang karena rasa aneh yang melandanya. Itu adalah sentuhan pertamanya, dan ia masih sangat sensitif. Tangannya secara refleks berusaha mencegah, tapi Muhris yang tak mau gagal lagi berusaha menahan Pertiwi agar tetap diam. Ciumannya makin liar hingga Pertiwi tak bisa mengelak. Remasan di dadanya terasa makin nyata, membuat Pertiwi terengah-engah akibat rangsangan hebat di tubuhnya. Ia tak kuasa mencegah remasan itu, karena bagaimanapun dirinya ternyata menikmatinya.
Pertiwi ikut tersenyum.
“Lebih baik kita dengar musik aja, ya! Kita berdansa. Seperti di film.”
Pertiwi diam menunggu dan manut saja pada apa yang diinginkan kekasihnya. Suara lembut mengalun dari player, dan tangan Muhris menjulur padanya. Pertiwi grogi karena ia belum pernah berdansa sebelumnya. Muhris meyakinkan bahwa ia sama tidak tahunya seperti Pertiwi. Jadi tak usah malu karena mereka hanya berdua di sini. Dengan langkah-langkah kaku tubuh mereka bergerak pelan, saling berpelukan. Keduanya tertawa pada gerakan masing-masing, tapi tetap merasa senang karena ciuman dimulai lagi beberapa saat sesudahnya. Tubuh Pertiwi hampir sama tingginya dengan Muhris, hingga ia tak perlu berjinjit untuk menyambut pagutan pria itu. Ia tak tahu bahwa kecantikannya makin memesona diri Muhris dan keremajaannya terus memancing-mancing gairah. Belum lagi aroma parfum menebar dari seluruh tubuhnya. Tangan Muhris tak tahan untuk tidak mengelus-elus tubuh bagusnya, bergerak dari pinggang ke arah atas.
Pertiwi masih setengah menganggap elusan itu adalah bagian dari gerakan berdansa. Ciuman bibir Muhris membuat tubuhnya lemas, hingga elusan itu ia nikmati saja seperti halnya ciuman di bibirnya. Terasa geli saat menyentuh bagian samping dadanya.“Mmmh… Mmhhh…” Elusan tangan Muhris makin mengarah ke dada Pertiwi, membelai-belai benda yang lunak dan empuk itu. Gadis itu mengejang karena rasa aneh yang melandanya. Itu adalah sentuhan pertamanya, dan ia masih sangat sensitif. Tangannya secara refleks berusaha mencegah, tapi Muhris yang tak mau gagal lagi berusaha menahan Pertiwi agar tetap diam. Ciumannya makin liar hingga Pertiwi tak bisa mengelak. Remasan di dadanya terasa makin nyata, membuat Pertiwi terengah-engah akibat rangsangan hebat di tubuhnya. Ia tak kuasa mencegah remasan itu, karena bagaimanapun dirinya ternyata menikmatinya.
Keduanya terengah-engah akibat ciuman yang panjang itu. Sedang muka
Pertiwi makin memerah, karena ia benar-benar terangsang oleh remasan
tangan Muhris di dadanya. Payudaranya yang berisi membuat genggaman
Muhris terasa penuh. Ia membiarkan dirinya terdesak ke dinding, hingga
ia tidak sampai merosot jatuh saat remasan tangan Muhris makin lincah
dan mempermainkan puncaknya yang masih tertutup kaus. Ia hanya mendongak
setengah terpejam dan tangannya yang bingung merapat ketat di tembok.
Ia makin belingsatan karena di saat yang bersamaan ciuman Muhris
mendarat di dagu dan lehernya bertubi-tubi. Lehernya cukup panjang dan
jenjang, hingga kepala Muhris dapat terbenam di sana dan
memagut-magutnya seperti ular.
Pertiwi merasakan air mata mengalir lewat sudut matanya. Ia sangat
kebingungan mengenali perasaannya saat ini. Remasan tangan kanan Muhris
berganti menjadi ciuman bibir. Ia sempat menunduk dan hanya melihat
rambut kekasihnya. Kepala Muhris terbenam di buah dadanya yang telah
mengeras kencang, dan Pertiwi dapat mendengar kecipak-kecipuk saat
Muhris melahap dadanya itu dengan sedikit buas.
“Muhris… Muhris… Ohhh. Apa yang kamu lakukan sama Pertiwiaa… Mmhhh… Jangan, Ris… Aahh…”
Muhris telah menggulung kaus ketatnya ke arah atas, berusaha
menyingkapkannya agar buah dada itu lebih leluasa dinikmati. Lelaki itu
terus meremas-remas dengan lembut dan penuh perasaan. Menjepit dan
mempermainkan putting susunya yang masih tertutup BH tipis berwarna
krem. Mungkin Muhris merasa gemas mendapati payudara yang demikian empuk
dan kenyal itu, payudara perawan yang masih sangat sensitif dari
sentuhan.
Keadaan Pertiwi kini sungguh mengenaskan. Kekasihnya menyerangnya di
berbagai tempat, mempermainkan dirinya seperti sebuah boneka. Bibir dan
tangan kiri di payudaranya, tangan kanan di sela-sela pahanya. Semuanya
adalah sensasi yang baru pertama kali ia rasakan. Dulu ketika ia belum
pernah mengalaminya, ia selalu berjanji bahwa ia hanya akan melakukan
ini dengan suaminya di atas ranjang pernikahan. Dulu ketika hal ini tak
pernah terbersit dalam benaknya, ia sangat yakin mampu menjaga
kehormatannya. Tapi kini ketika benar-benar mengalaminya, ia tak tahu
apakah ia akan tetap sekuat itu. Sentuhan-sentuhan ini terlalu melenakan
dirinya, dan membangunkan perasaan rindunya yang telah lama terpendam.
Ia sangat bingung hingga hanya mampu meneteskan air mata dan meremas
remas rambut Muhris.
“Aku sayang kamu, Pertiwi… Mmmh… Aku sayang kamu…” Terdengar rayuan
Muhris di sela-sela kesibukannya. Pertiwi hanya mampu menjawabnya dengan
erangan-erangan aneh, karena saat itu tangan kanan Muhris telah
menembus langsung ke pangkal pahanya. Jari jemari pria itu
menggosok-gosok dan mempermainkan di tempat yang paling sensitif, hingga
Pertiwi merasakan celananya basah oleh cairan yang tak ia kenal
sebelumnya.
Memang sentuhan tersebut bukanlah sentuhan langsung karena tubuh Pertiwi
masih tertutup CD tipis dan celana ketatnya. Tapi ini adalah sentuhan
pertamanya, dan semuanya sudah lebih dari cukup untuk membangkitkan
rangsangan dahsyat itu. Apalagi setelah beberapa lama Muhris tidak juga
menghentikan aktivitasnya, melainkan menggesek-gesek dengan lebih liar.
Kemaluannya terasa seperti diaduk-aduk, hingga makin lama ia makin
merasakan desakan yang aneh sangat sulit ia pahami. Ia tak dapat menahan
perasaannya. Ia terus mengerang… mengerang… hingga desakan itu makin
menuju ke arah puncak… Ia tak sanggup bertahan lagi…
“Aaahh… Aaahh… Akhhhhh….” Pertiwi menjerit panjang saat orgasme melanda
tubuhnya untuk pertama kalinya. Tubuhnya mengejang kuat, melengkung
seperti busur. Kakinya merapat menjepit tangan Muhris yang tak juga
berhenti bergerak. Ia merasakan letupan-letupan dahsyat seperti sebuah
terpaan badai. Dunia dipenuhi warna yang berpadu dengan indahnya.
ane jg punya gan yg lebih hot, mari mampir gan di bawah ne :
BalasHapus<=> Koleksi Cerita Sex
- Cerita Sex Aku Rela Ditiduri Anakku
- Pesta Sex Di Rumah
- Cerita Seks Ngentot Ibu Dosen Yang Hot
<=> Koleksi Cerita Mesum
- Belajar Seks Di kamar Kos
- Pacaran Sama Adiknya ML Sama Kakaknya
- Cerita Mesum Cewek Jilbab minta di entot
- Cerita Mesum Perawan Rara
<=> Koleksi Cerita Ngentot
- Cerita Dewasa Kelakuan Ibu Ibu Arisan
- Bercinta dengan Guru Pianoku
- Cerita Dewasa Ngentot Si Jilbab Perawan
<=> Koleksi Foto Bugil
- Foto Bugil Abg Pamer Memek Perawan
- Foto Bugil ABG Punya Susu Gede
- Foto Hot Bugil Pramugrari Pamer Memek
<=> Koleksi Foto Telanjang
- Foto Bugil Tante Girang Binal Syur
- Foto Tetek Gede Tante Girang Bahenol
- Foto Tante Girang Pamer Nenen
- Foto Bugil Tante Girang Telanjang
<=> Koleksi Video Sex Terbaru Gratisss
Cerita apa shy . . ?
BalasHapus[-+] DOWNLOAD HD ADULT MOVIES
BalasHapus[-+] DOWNLOAD MOVIES 18+
[-+] DOWNLOAD MOVIES HD 18+ FREE
[-+] FREE HD ADULT MOVIES
[-+] FREE MOVIES 18+
[-+] Japanese Porn Star
[-+] DOWNLOAD BOKEP JEPANG - MOMOKA NISHINA
[-+] DOWNLOAD BOKEP JEPANG - MARIA OZAWA
[-+] DOWNLOAD BOKEP JEPANG - SAORI HARA
[-+] Memek Perawan Basah
[-+] Toket ABG SMA Merah
[-+] Lucunya Malam Pertama
[-+] DOWNLOAD FILM SEMI SUBTITLE INDONESIA
[-+] DOWNLOAD FILM JEPANG SEMI DURASI 3 JAM
[-+] DOWNLOAD FILM KOREA SEMI DURASI 2,5 JAM
[-+] FOTO BUGIL Artis Porno
[-+] Ngentot di Kolong Jembatan
[-+] Lucunya Kepergok Mesum di Masjid
[-+] DOWNLOAD FILM BARAT SEMI DURASI 5 JAM
[-+] DOWNLOAD BOKEP DURASI 2 JAM FREE
[-+] DOWNLOAD FILM DEWASA FULL INDONESIA TRANSLATE
[-+] Video Mesum di Toilet Masjid
[-+] Mesum di Kantin Kampus
[-+] Bispak Murah Meriah
[-+] DOWNLOAD Bokep 24 Jam FULL
[-+] DOWNLOAD Bokep AYam Kampus Kepergok Ngentot
[-+] DOWNLOAD Toket Tante Girang Gede
[-+] FREE HD ADULT MOVIES
[-+] FREE MOVIES 18+
[-+] Japanese Porn Star
[-+] DOWNLOAD Memek Basah Cewek Perawan
[-+] DOWNLOAD ABG Kimcil Ngentot
[-+] DOWNLOAD Cabe-cabean Hot Ngentot
[-+] FOTO BUGIL Artis Porno
[-+] Ngentot di Kolong Jembatan
[-+] Lucunya Kepergok Mesum di Masjid
[-+] DOWNLOAD Memek Perawan
[-+] DOWNLOAD Toket Gede Ibu Guru
[-+] DOWNLOAD Bokep Kepala Sekolah vs Anak SMP